ENTAHLAH YANG JELAS SAYA MALU
Belum
lama ini, saya membuat sebuah tulisan yang dimaksudkan untuk
“meninggikan” sebuah komunitas, yang menjadikan isu kepunahan
budaya sebagai perjuangan. Dengan semangat #GSDB yang selalu mereka
elu-elukan, hendak mengajak kita untuk peduli akan risiko kepunahan
budaya atau pengklaiman budaya, yang diakibatkan oleh kurangnya data.
“Jika Indonesia kaya akan budaya, tunjukan datanya” demikian
kalimat yang sering terlontar dari anggota komunitas ini. Namun
sayang, dengan terpaksa saya harus membuat sebuah tulisan yang
sepertinya berlawanan dengan tulisan saya sebelumnya (red: Fajar Di
Tujuh Puluh Tahun Indonesia), sebagai bentuk kekecewaan saya kepada
komunitas ini, terkait responnya pada mega proyek Waduk Jatigede.
Mega
proyek Waduk Jatigede, sudah dimulai sekitar tahun 1965. Selama lima
puluh tahun ini, menurut Kabuyutan Sunda, pembangunannya telah
berlangsung melalui liku-liku yang tidak selalu sesuai dengan
nilai-nilai luhur yang dianut Bangsa Indonesia dan tidak sejalan
dengan kepentingan pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya
lokal yang ada di sekitar bendungan. Oleh karenanya, tidak sedikit
persoalan yang muncul dalam pembanguna ini, mulai dari Masalah
Budaya dan Spiritual, Masalah Geologi, Masalah Lingkungan, Masalah
Sumber Daya Alam,
Masalah
Sosial, Masalah Ekonomi, Masalah Sedimentasi, Masalah Efektifitas
Bendungan, dan
Masalah
Konflik Agraria.
Lalu
apa yang membuat saya kecewa terhadapa komunitas ini?, hal
ini berkaitan dengan masalah Budaya dan spritual, sedikit
saya jabarkan terkait masalah budaya yang timbul. Lebih
dari 25 Situs Cagar Budaya terancam rusak/ ditenggelamkan, Situs
melekat pada koordinat tempatnya, tidak bisa direlokasi atau
dipindah. Situs- situs Cagar Budaya merupakan bagian dari keyakinan
spiritual masyarakat setempat sehingga jangan sampai Tragedi
Mbah Priuk terjadi di Jatigede. Dan berikut 25 situs yang
diambil dari CNN Indonesia:
- Situs Leuwiloa, berupa makam kuna (keramat) Embah Wacana, yang berlokasi di Kampung Leuwiloa, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
- Situs Nangewer, berupa makam kuna (keramat) Embah Mohammad Abrul Saka, yang berlokasi di Kampung Nangewer, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
- Situs Tembongagung, bekas-bekas kerajaan Tembongagung yang sudah sulit dikenali, hanya ditemukan sebaran keramik Cina dari masa Dinasti Ming, yang berlokasi di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
- Situs Pasir Limus, merupakan kompleks makam kuna Eyang Jamanggala, Eyang Istri Ratna Komala Inten, Eyang Jayaraksa (Eyang Nanti), dan makam lain. Di sebelah timur kedua makam ini terdapat monolit. Diduga ada tatanan batu membentuk bangunan berundak. Makam ini disebut juga petilasan Tilem.
- Situs Muhara,0 berupa makam keramat Eyang Marapati dan Eyang Martapati, yang berada di Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
- Situs Marongpong, berupa makam keramat Embah Sutadiangga dan Embah Jayadiningrat, pendiri Kampung Cihideung, yang berlokasi di Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
- Situs Nangkod, makam Embah Janggot Jaya Prakosa, yang berlokasi di Kampung Nangkod Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
- Situs Sawah Jambe, berupa tiga batu berdiri (menhir) yang terletak di wilayah kampung Sawah Jambe, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
- Situs Lameta, berupa makam keramat Embah Dira dan Embah Toa, pendatang dari Betawi yang membedah aliran Cihaliwung dan Cisadane. Tokoh ini juga diceritakan
sebagai orang (tempat lalandong/berobat) Prabu Siliwangi. Situs Lameta berada di pemukiman penduduk Kampung Lameta Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja; - Situs Betok, kompleks makam yang berlokasi di Kampung Betok, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja
- Situs Tanjungsari, berupa kompleks makam kuna Embah H. Dalem Santapura bin Betara Sakti, penyebar agama Islam di Darmaraja, dengan enam makam putranya, yang berlokasi di Dusun Kebon Tiwu, Desa Cibogo, Kecamatan Darmaraja. Di lokasi ini juga terdapat makam Demang Patih Mangkupraja, Patih Sumedang semasa Pangeran Kornel, dan makam-makam para juru kunci. Dekat situs terdapat sumur kuna yang disebut Cikahuripan.
- Situs Munjul, berupa kompleks makam dengan makam utama Singadipa, yang berlokasi di Kampung Munjul, Desa Sukamenak, Kecamatan Darmaraja;
- Situs Keramat Eretan, berupa makam keramat Embah Geulis, istri Prabu Gajah Agung, dan makam-makam lainnya yang berlokasi di Kampung Cisurat, Desa Cisurat, Kecamatan Wado.
- Situs Cipawenang, yakni mata air yang dikeramatkan. Situs ini berada di Kampung Cigangsa, Desa Pawenang, Kecamatan Wado. Konon mata air ini dibuat secara ajaib oleh Nyi Mas Ratu Asih, putri dari Kerajaan Nunuk di Majalengka.
- Situs Cigangsa, berupa kompleks makam umum yang masih difungsikan hingga sekarang. Pada bagian yang paling atas terdapat kelompok makam yang dikeramatkan, di mana terdapat makam utama yaitu makam Embah Dalem Raden Arya Wangsa Dinaya. Situs berlokasi di Kampung Cigangsa Desa Pawenang, Kecamatan Wado.
- Situs Gagak Sangkur, berupa makam keramat Raden Aria Sutadinata ( berasal dari Banten) yang berlokasi di Kampung Sundulan, Desa Padajaya, Kecamatan Wado
- Situs Tulang Gintung, berupa makam keramat Eyang Haji Rarasakti atau Jayasakti yang berlokasi di Pasir Leutik, Kampung Sundulan, Desa Padajaya, Kecamatan Wado.
- Situs Keramat Gunung Penuh, berupa makam keramat Tresna Putih, yang berlokasi di Kampung Bantarawi, Desa Padajaya, Kecamatan Wado;
- Situs Keramat Buah Ngariung, makam Embah Wangsapraja, penyebar Islam di Buah Ngariung, yang berlokasi di Kampung Buah Ngariung, Desa Padajaya, Kecamatan Wado.
- Situs Curug Mas, berupa tiga objek, yaitu pertama, kompleks makam Embah Dalem Panungtung Haji Putih Sungklanglarang, penyebar agama Islam dari Kesultanan Mataram dan makam pengikutnya yang bernama Angling Dharma, kedua, air terjun Curug Mas yang diyakini sebagi tempat menyimpan bokor emas, bakakak (ayam dibelah) emas, dan tumpeng emas; dan ketiga, sumur keramat yang dinamai Sumur Bandung. Situs ini berlokasi di Kampung Cadasngampar, Desa Sukakersa, Kecamatan Jatigede.
- Situs Cadasngampar, berupa komplek makam Aki Angkrih, pendatang dari Sumatra yang mendirikan Kampung Cadasngampar, dan makam keluarganya, yaitu makam Aki Angkrih, Nini Angkrih, Aki Kulo, dan Nini Kulo. Situs ini terletak di Dusun Cadasngampar, Desa Sukakersa, Kecamatan Jatigede.
- Situs Tanjakan Embah, berupa makam keramat Embah Jagadiwangsa dan Embah Sadaya Pralaya, yang berlokasi di Desa Jemah, Kecamatan Jatigede
- Situs Sukagalih, berupa lima makam yang dilengkapi bangunan cungkup. Tokoh utama yang dimakamkan adalah pendiri desa ini yaitu Eyang Akung. Di sebelah baratnya adalah makam istrinya, selanjutnya Aki Gading dan dua makam lagi tidak diketahui namanya. Situs ini berlokasi di Dusun Sukagalih, Desa Jemah, Kecamatan Jatigede.
- Situs Keramat Aji Putih. Situs yang berada di Kampung Cipeueut, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja ini berupa makam Ratu Ratna Inten Nawangwulan, makam Prabu Aji Putih, dan makam Resi Agung.-Makam Ratu Ratna Inten Nawangwulan. Lokasi objek terletak di tengah persawahan Makam Ratu Ratna Inten Nawangwulan (istri Prabu Aji Putih) sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk dan masih diziarahi orang, baik penduduk setempat maupun dari luar dengan berbagai keperluan.-Makam Prabu Aji Putih. Lokasi makam terletak di sebelah timur laut makam Ratu Ratna Inten Nawangwulan. Objek berupa makam yang terletak di puncak bukit. Bukit tersebut dikelilingi oleh parit dan tidak jauh dari Sungai Cibayawak.- Makam Resi Agung. Lokasi makam terletak di puncak bukit sebelah utara makam Prabu Aji Putih. Makam tersebut merupakan makam guru Prabu Aji Putih, pendiri Kerajaan Tembongagung. Makam masih dikeramatkan dan diziarahi oleh masyarakat setempat dan dari luar.
- Situs Astana Gede Cipeueut. Secara administratif situs terletak di Kampung Cipeueut, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja. Lokasi situs terletak di pinggir jalan masuk ke Desa Cipaku dan menyatu dengan pemakaman umum warga setempat. Di situs ini terdapat tiga objek berupa makam Raja Sumedanglarang, Prabu Lembu Agung, Embah Jalul, dan istri Prabu Lembu Agung.
Jika
penggenangan terjadi, 25 situs (bahkan lebih) akan tenggelam, nah
inilah yang beberapa hari ke belakang saya pertanyakan ke sobat
budaya melalui twitter. Ada sekitar sembilan mantion saya ke sobat
budaya namun tidak mendapatkan tanggapan. Lalu saya mencoba
mengkofirmasi ke sang ketua umum Ibu Wulandari, dan jawaban yang bagi
saya tidak layak seorang ketua umum SOBAT BUDAYA, ketika saya
bertanya “kenapa ngga negetwet Jatigede?”,
dan beliau menjawab “Kenapa belum bahas Jatigede. Masih ada
pertimbangan, tentang ada ga situs budaya yang memang jadi fokus
pendataan dan pelestarian budaya kita. Karena kalo baca informasi dan
berita, adanya makam. Nah soal makam itu masih dibahas. Itu bisa kita
angkat ngga ”. Nah loh,
lalu kata “budaya” dari nama komunitas ini diartikan apa?, lalu
gerakan sejuta data buday dan pejuang budaya yang ibu buat tulisannya
di blog itu apa maksudnya?, jika ada sebuah peradaban atau
peninggalan yang mempunyai nilai sejarah akan negara kita apa bukan
bagian dari budaya?, pikiran ibu ini ditaro dimana sih?, ngga malu
menyandang ketua namun pikirannya sesempit itu?, padahal saya tidak
hendak mengajak turun ke jalan untuk ikut berdemo dengan seluruh
aktivis lingkungan, budayawan, kemanusian yang sudah jauh-jauhari
bergriliya memperjuangkan Jatigede ini, saya hanya ingin sobat budaya
membuat sebuah pernyataan sikap terhadap Jatigede ini dari wilayah
budaya, kan sobat budaya lahir untuk menghindari kepunahan, nah ini
mau dipunahkan secara sengaja, kok diem aja?, ngga malu bu sebgai
lulusan sospol?, yang seharusnya jauh lebih paham dari saya cuma
lulusan SLTA. Ingat bu budaya itu lahir karena ada interaksi manusia
dengan alam, manusia dengan
sang pencipta, budaya tidak bisa dilepas dari sejarah suatu wilayah,
jadi jika sebuah area
berubah, berubah pula tatanan sosial dan budayanya, dan
perlu diingat area yang menjadi waduk ini banyak
kaitannya dengan lahirnya kerajaan sumedang larang. Masih
mempertanyakan apakah bagian dari budaya yang harus kita data?, saya
jadi ingat sobat budaya pernah melakukan ekspedisi ke padang dan
mengunjungi sekaligus mendata ini:
Apa itu?, Makam Siti Nurbaya.
Dan pada akhrinya
Jatigede pun tenggelam, dan musnah pula situs2, dan masih layakkah
sobat budaya menyerukan gerakan sejuta data budayanya?, apalagi
sampai disebut sebgai pejuang budaya?, entahlah yang jelas saya malu.
Komentar
Posting Komentar